Tomy Michael Dan Unggah Ungguh Dalam Berkonten

  Sabtu, 25 Juli 2020 - 20:44:46 WIB   -     Dibaca: 564 kali

Opini Tomy Michael yang dimuat dalam Media Indonesia 25 Juli 2020 berjudul Unggah Ungguh Dalam Berkonten.

Lancar berbahasa Batak tetapi tempat tinggal saya lebih mengarah pada tradisi Jawa Timur dan dalam tiap bertindak hingga saat ini masih sering dijumpai unggah ungguh. Mengutip sebuah laman, unggah ungguh bersifat kompleks serta mengandung konsep sopan santun dalam laku dan sikap sehari hari. Untuk saat ini apalagi bekerja dengan MOD maka hidup sehari-hari lebih banyak dihabiskan dalam ruang virtual. Sebagai bagian penanggung jawab media sosial ataupun web di tempat kerja, segala hal yang disajikan harus mampu dipertanggungjawabkan. Tidak hanya mengetahui asal konten atau siapa saja didalamnya tetapi andaikata itu betul, layakkah diunggah ketika memunculkan konflik SARA misalnya.

Tentu saja, kemampuan menelusuri sesuatu harus menjadi perhatian utama dengan tim. Adakalanya, konten yang diunggah juga mengalami penolakan sekaligus penerimaan yang banyak. Misalnya bagi sebagian orang mengunggah kegiatan jalan-jalan di era pandemi bisa bermakna dua yaitu tidak menghargai pengorbanan tenaga medis dalam menghadapi Covid-19 atau itu adalah hak pribadi yang tidak bisa diganggu gugat. Sebetulnya kebijaksanaan akan unggah konten adalah bagian dari edukasi yang terus menerus. Ketika konten yang diunggah hanya sekadar sensasi maka akan menimbulkan pro kontra. Begitu juga konten yang diunggah sebatas menampilkan kemampuan diri dalam memasaka misalnya, juga pasti ada pro dan kontra.

“Adagium” netizen maha benar sebetulnya juga menjadikan apa yang sebenarnya tepat menjadi buruk dan buruk menjadi benar. Lantas sejauh mana kemampuan yang dimiliki seseorang dalam melakukan unggah ungguh dalam berkonten? Ketika hanya diminta bijak, maka tolak ukur tentu saja hukum yang hidup dalam masyarakat, misalnya masyarakat adat X memperbolehkan namun masyarakat adat Y tidak. Kemudian bijaksana ketika dibatasi oleh negara maka akan menimbulkan gejolak dari masyarakat. Satu hal yang wajib diingat bahwa kebebasan tetap memiliki batasan akan hak lainnya.

Menurut saya unggah ungguh dalam berkonten tetap berada dalam diri si pengunggah dan sejauh mana bentuk pertanggungjawabannya apabila unggahannya mengandung unsur hoaks. Dalam mencegah hoaks inilah wujud negara nyata yang sifatnya bukan represif namun preventif. Sebagai contoh, lebih baik ada akun dari pemerintah yang memberikan penilaian bahwa sesuatu hoaks dengan narasi yang singkat dan mudah dipahami. Unggah ungguh dalam berkonten juga wajib diberikan oleh penyedia aplikasi artinya pemilik aplikasi tidak sekadar mencari untung namun ia sendiri memiliki sistem yang menghapus secara otomatis ketika unggahan seseorang menimbulkan pro atau kontra. Namun disinilah pemrsalahannya, bisakah suatu sistem menilai hasil unggahan selain melalui jumlah jempol saja? Dari sini unsur manusia harus ada sehingga apa yang diunggah menjadi hal positif bagi yang melihat atau membacanya. Mungkin cara yang bijaksana, komunitas-komunitas kecil dalam masyarakat harus menggiatkan edukasi digital misalnya ada kampung digital anti hoaks, atau desa anti tipu-tipu. Dengan cara edukasi inilah yang paling tepat saat ini untuk membatasi ketidakbijaksanaan dalam berkonten. Artinya peran serta masyarakat dibutuhkan terutama bagi mereka yang baru mengalami kecanggihan teknologi. Rasanya sah-sah saja jika saya mengunggah kegiatan wisata di web tempat bekeja demi meningkatkan jumlah pengikut atau sekadar capai ribuan tanda suka, tapi apakah itu bijaksana?


Untag Surabaya || Fakultas Hukum Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya