Balon, Intoleranasi Dan Radikalisme

  Rabu, 21 Agustus 2019 - 13:24:35 WIB   -     Dibaca: 540 kali

Tulisan milik Tomy Michael berjudul Balon, Intoleranasi Dan Radikalisme dimuat dalam Harian Media Indonesia 21 Agustus 2019.

Hingga saat detik hari ini, peraturan perundang-undangan undang-undang dan peraturan daerah saja yang dapat mencantumkan sanksi pidana. Mungkin beberapa tahun mendatang, peraturan desa dapat mencantumkan juga demi keadilan hukum namun hal tersebut mudah-mudahan tidak terjadi. Apakah seluruh hal ketika dikenai sanksi pidana atau administratif maka berubah lebih baik? Tidak, bisa saja lebih buruk namun harapannya adalah yang buruk berkurang dan mencegah hal buruk timbul.

Begitu juga dengan isu intoleransi dan radikalisme yang masih betah berada di Indonesia beberapa bulan bahkan mendekati tahun. Saya hanya melihat isu yang sering terpampang di media cetak atau elektronik dimana hal-hal tersebut terjadi karena pemahaman. Ada dua pemahaman yang dimaksud yaitu pemahaman yang begitu mendalam sebagai faktor terjadinya intoleransi dan radikalisme di Indonesia. Misalnya pemahaman akan suatu apa yang diyakini sehingga mengaburkan kemampuan berpikir rasional dalam diri seseorang. Ketika pemahaman mendalam ini semakin menuju satu titik, maka orang tersebut akan mengajak orang lain yang pemahamannya rendah bahkan tidak memahami untuk menjadi bagian darinya.

Akan menjadi positif jika sifat mengajak tersebut untuk memunculkan makhluk kodrati yaitu kebaikan yang diterima secara universal. Intoleransi dan radikalisme sebetulnya tidak bisa diselesaikan dengan sanksi pidana atapun sanksi administratif karena kedua sanksi tersebut sebetulnya hanya menghukum badan seseorang saja tetapi raganya tidak. Cara mengurangi intoleransi dan radikalisme yaitu dengan memberikan kepuasan akan sisi positif yang dimiliki oleh sekelompok orang dari pemerintah.

Ketika pemerintah mengatakan tindakan K adalah buruk melanggar norma agama maka hal yang sama harus dilakukan kepada subjek hukum Q dimanapun ia berada. Dalam mengatasinya bukan melihat apa akibatnya namun apa yang diperbuat sebelumnya. Layaknya sebuah teori dalam ilmu hukum yaitu fiksi hukum dimana siapapun dianggap tahu ketika suatu peraturan perundang-undangan masuk dalam lembaran negara. Oleh karena itu, penegakan hukum secara progresif adalah hal mutlak yang harus ditunjukkan penegak hukum dalam kasus-kasus intoleransi dan radikalisme.

Sementara cara patriotnya yaitu tetap mengenalkan Pancasila sebagai dasar negara. Pengenalan ini tidak bersifat seperti orde baru dengan butir-butir Pancasilanya yang bisa multitafsir namun pemerintah dalam hal ini wajib bertingkah laku sesuai kelima sila Pancasila tersebut.

Sebagai contohnya perobekan bendera merah putih, uraian kebencian akan apa yang diyakini seseorang, doktrin untuk menyakiti orang lain hingga delusi ideologi di luar Indonesia harus diatasi dengan pendidikan. Karena saya bergerak dalam dunia pendidikan, maka pentingnya bertoleransi dan memahami Pancasila sejak pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi adalah hal mutlak. Pendidikan tidak boleh diisi dengan pemahaman yang sifatnya memaksa dari penutur dan alur pikir yang dangkal sehingga yang disampaikannya berujung negatif.

Saya teringat seorang teman yang mengatakan bahwa manusia itu pada dasarnya pecinta kesenangan. Dengan adanya rasa senang maka sifat-sifat buruk akan hilang. Kesenangan yang dimaksud adalah perasaan gembira dalam melakukan sesuatu yang didukung oleh banyak pihak. Misalnya saja, muris SD bermain sepak bola dengan gembira ketika ada lapangan sepak bola dekat rumahnya. Cara mencari kesenangan itu yaitu banyak berinteraksi dengan subjek hukum yang membutuhkan kebaikan dari kita. Jika hal demikian terjadi, intoleransi dan radikalisme akan berkurang. Sebetulnya saya menulis ini terinspirasi film buatan negara Jerman berjudul Der Ballon (2018). Silakan Anda menontonnya dan bayangkan saja kita hanya melihat kerusuhan dari atas.


Untag Surabaya || Fakultas Hukum Untag Surabaya || SIM Akademik Untag Surabaya || Elearning Untag Surabaya